Picuan Kuda di Medan Saat Penjajahan
Picuan kuda di Medan memiliki sejarah yang kaya dan jadi sisi penting dari budaya olahraga di kota ini semenjak jaman penjajahan Belanda sampai saat ini. Berikut gambaran singkat mengenai picuan kuda di Medan:
Awal Mula
Picuan kuda pertama kalinya dikenalkan di Medan pada periode penjajahan Belanda, sekitaran awal era ke-20. Aktivitas ini bukan hanya jadi selingan, tapi juga jadi gelaran untuk memperlihatkan prestise dan status sosial antara warga penjajahan dan elite di tempat.
Lapangan Picuan Kuda
Salah satunya lokasi yang populer untuk picuan kuda di Medan ialah lapangan picuan kuda yang berada di wilayah sekitaran Polonia, yang saat ini dikenali superhorseracing.net sebagai salah satunya daerah khusus di kota Medan. Lapangan ini kerap dipakai untuk berbagai acara sosial dan olahraga, termasuk picuan kuda. Lapangan picuan kuda ini selanjutnya diganti jadi pasar sentra Medan.
Acara dan Persaingan
Picuan kuda di Medan kerap diselenggarakan berbentuk persaingan resmi yang memikat peserta dari berbagai kelompok. Acara ini bukan hanya didatangi oleh warga penjajahan Belanda, tapi juga oleh warga pribumi yang tertarik dengan berolahraga ini. Picuan kuda jadi sisi dari aktivitas sosial yang terpenting di kota Medan pada periode tersebut.
Di sejumlah koran lokal sebelumnya sempat dikabarkan berkenaan perlombaan-perlombaan tersebut.
Sumatra Post edisi 11/8/1922 seumpama berisi informasi mengenai Lomba Picuan Kuda yang hendak diselenggarakan tanggal 16 dan 17 September 1922 di Pasar Lomba. Sejumlah nomor ditandingkan dalam lomba tersebut. Contohnya nomor lomba untuk kuda Batak (Brastagiren) dalam jarak 800 mtr.. Ada pula untuk kuda angkutan (sado) dalam jarak menempuh 1000 mtr., lantas untuk kuda Deli dengan halangan dll. Organisasi pelaksana lomba balap kuda ialah Deli Renvereeniging. Organisasi ini semenjak 1923 disebut sudah bergabung dalam persatuan organisasi balap kuda di Malaka.
Pengunjung balap kuda harus bayar ticket masuk ke dalam lapangan. Tiket-tiket itu diundi hadiah uang lumayan besar, dimulai dari f 1000 (juara 1), f 375 (juara 2), dan juara ke-3 dan ke-4, masing-masing f 125 (Sumatra Post 20/4/1923). Pemilik kuda balap biasanya orang Eropa, tetapi cukup banyak dari kelompok orang Tionghoa.
Sumatra Post edisi 7/13/1922 menulis: “Pada membalap di Penang tanggal 25, 27 dan 29 Juli, mungkin enam kuda Medansche akan berperan serta, yakni Pengamatan (pemilik Koo Tek Soon), Drumfire (Medan Kongsi), st. Fitz, Lady Piquet (Lie Tjoean Poh), Idle Girl (Temco kongsi; dan mungkin Golden Mead (Gebr. Schol tens) Tetapi, keterlibatan kuda paling akhir tidak jelas. Bush Girl yang raih juara pertama di Ipoh ditaruh di kelas bekas griffin, tapi didiskualifikasi karena Renvereeniging Medan belum berafiliasi dengan organisasi balap kuda Malaka hingga kuda Deli cuma dibolehkan untuk berkompetisi di kelas terbuka.”
Dampak dan Peninggalan
Picuan kuda di Medan memiliki imbas sosial dan ekonomi yang krusial. Selainnya jadi selingan untuk warga, aktivitas ini membuat lapangan pekerjaan untuk beberapa orang yang terturut dalam industri kuda, seperti pelatih, penjoki, dan peternak kuda. Picuan kuda jadi gelaran untuk mempromokan dan jual kuda yang berkualitas.